Sabtu, 22 Januari 2011
Bab II Manusia di hadapan Allah
Menurut Kitab Kejadian 1 : 2 keadaan di bumi pada mulanya masih kacau, keadaan bumi tersebut diungkapkan demikian. Jadi, bumi masih dikuasai oleh kuasa-kuasa KHAOTIS [khaos (Ibr.) : kekacauan], yaitu daya-daya perusak sehingga tidak memungkinkan kehidupan dapat berlangsung. Untuk mencapai tujuan kehidupan yang penuh SYALOOM itu, Allah merencanakan menciptakan manusia sebagai mandataris Allah.
2. Manusia sebagai Mandataris Allah
Kisah penciptaan sebelumnya senantiasa dimulai dengan ungkapan : “Berfirmanlah Allah” maka “jadilah...”. Namun bentuk ungkapan tersebut dalam kisah penciptaan manusia tidak dipergunakan lagi. Perhatikan firman Allah dalam Kejadian 1 : 26. Dan yang terpenting, Kitab Kejadian menunjukkan Allah menciptakan manusia menurut gambar [tselem (Ibr.)] dan rupa [demut (Ibr.)] Allah sendiri. Sebab itu dalam Kejadian 1 : 27 diulang kembali. Meskipun arti kata gambar (tselem) dan rupa (demut) tidaklah sama, namun keduanya sangat berdekatan satu sama lain. Pada jaman dahulu kedua kata tersebut dipakai untuk menyebut patung atau arca dewa. Bila memang demikian manusia menurut Kitab Kejadian adalah serentak laki-laki dan perempuan. Inilah yang disebut Androgyne. Keduanya yaitu laki-laki dan perempuan menghadirkan “wajah” Allah dalam kehidupan pribadi mereka, namun dengan cara yang berbeda sambil mereka saling melengkapi. Jadi, Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan sebagai perempuan agar mencerminkan kehidupan ilahi sesuai dengan fungsi dan kodratnya masing-masing.
Pengertian manusia sebagai mandataris Allah bukan dimaksudkan bahwa manusia berhak untuk menguras habis-habisan isi alam ini untuk memenuhi kebutuhannya. Kata “berkuasa” [rada (Ibr.)] lebih merujuk pada pengertian menaungi atau mengayomi. Sebagaimana Kitab Kejadian menegaskan bahwa “segala yang dijadikan Allah itu sungguh amat baik” (Kejadian 1 : 31). Sebab itu kita terpanggil untuk menjadi pemeliharaan alam dan isinya menjadi rusak, manusia seluruhnya akan diancam oleh kemusnahan. Sebagai mandataris Allah sikap kita terhadap alam harus berubah menjadi positif. Alam bukan lagi sebagai obyek unuk dimanfaatkan semaunya, tetapi alam perlu dijadikan sahabat (tempat manusia berelasasi dan menemukan makna).
3. Menghadirkan Syaloom Allah
Jabatan yang dikaruniakan Allah kepada manusia sebagai mandataris Allah adalah supaya manusia hidup sebagai gambar dan rupa Allah. Mencerminkan kehidupan ilahi dan kepribadiannya. Kata syaloom berasal dari Bahasa Ibrani yang menunjuk suatu keadaan ideal. Dalam Perjanjian Lama, kata syaloom dipergunakan sebanyak 237 kali. Jadi, kata syaloom kadang-kadang dimunculkan dalam relasi pergaulan. Umumnya, arti kata syaloom dalam Perjanjian Lama mempunyai arti yang berlimpah, kenyang, rasa puas, bahagia, utuh, dan lengkap, atau menunjuk pada suatu kehidupan yang utuh-lengkap meliputi manusia seluruhnya dan dari semua segi kehidupan. Sebab Allah menciptakan langit dan bumi serta manusia adalah agar dalam kehidupan itu tercipta suatu keadaan syaloom. Paling tidak ada dimensi keadaan syaloom, yaitu : dimensi vertikal, dimensi sosial, dan dimensi kosmis.
Dalam dimensi vertikal, syaloom berarti keselarasan antara Allah dan manusia. Di sini inti keadaan ini merupakan pergaulan yang erat dan mesra antara manusia dengan Allah.
Dalam dimensi sosial, syaloom berarti bahwa manusia membutuhkan penolong yang sepadan. Sebab itu TUHAN Allah berfirman : “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2 : 18).
Dimensi kosmis juga lingkup dari syaloom, sebab itu harus ada keselarasan antara manusia dengan alam. Sebagai mandataris Allah (bukan sebagai penguasa dunia), manusia harus mampu memberi perlindungan dan pengayoman kepada seluruh makhluk dan isi alam.
Dari pembahasan di atas kita dapat mengatakan bahwa syaloom itu keselamatan dan damai-sejahtera itu suatu kejadian yang memungkinkan semua manusia menjadi baik dan lancar, harmonis dengan TUHAN Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam.
4. Dosa dan Kegagalan Manusia
Namun tujuan Allah justru dikhianati oleh manusia. Manusia memberontak kepada Allah, sebab manusia tergoda untuk menjadi seperti Allah (Kejadian 3 : 5). Sebab pada hakikatnya dosa senantiasa memisahkan manusia dari Allah. Ini terlihat dari Yesaya 59 : 2. Namun, bila kita memperhatikan latar belakang (konteks) pemberontakan manusia sehingga jatuh ke dalam dosa, ternyata berhubungan erat dengan :
a. Allah memberikan kebebasan kepada manusia.
b. Iblis melalui ular menggoda manusia.
Persoalan pertama berkaitan dengan masalah : Allah memberikan kebebasan kepada manusia. Argumentasi ini mengandaikan lebih baik jika Allah tidak pernah memberikan kebebasan pada manusia. Sebaliknya, adanya kebebasan yang dimiliki manusia menunjukkan bukti kasih dan anugerah Allah yang begitu besar. Jadi, manusia jatuh ke dalam dosa bukan disebabkan oeh kebebasan yang dimilikinya.
Persoalan kedua berkaitan dengan tindakan iblis yang menggoda manusia, manusia tidak mungkin berbuat dosa. Kisah kejatuhan manusia dalam Kitab Kejadian 3 : 1-7 memang memperlihatkan secara jelas peranan iblis. Dan bila kita merenungkan kisah dalam Kejadian 3 : 1-7, ternyata keadaan manusia ketika digoda adalah berada dalam keadaan sadar (bukan dalam tekanan psikologis). Manusia dengan kebebasannya masih dapat menolak godaan iblis untuk berkomunikasi. Tetapi ternyata manusia menanggapi setiap perkataan iblis. Manusia dapat tetap setia kepada Allah, walaupun digoda iblis terus-menerus, sebab kesetiaan dan perlawanan adalah hasil keputusan bebas manusia.
5. Paham Tentang Dosa
Kita perlu merumuskan pemahaman arti tentang dosa. Sehingga kita dapat lebih mudah diukur untuk dipertanggungjawabkan. Untuk mencapai tujuan itu ada baiknya bila kita juga memperhatikan sumbangan antroplogi sosial yang menyelidiki terjadinya kelompok-kelompok sosial. Antropologi sosial pada prinsipnya membedakan dua macam masyarakat (kelompok sosial), yaitu :
a. Strong Group-Grid
b. Weak Group-Grid
Maksud dari “Strong Group-Grid” adalah kelompok sosial yang memiliki sistem organisasi yang sangat ketat. Bagi masyarakat “Strong Group-Grid” suatu dosa atau kesalahan dilihat sebagai suatu gangguan obyektif. Cara mencegah akibat buruk dari perbuatan dosa (pelanggaran) adalah dengan melakukan upacara-upacara tertentu untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan. Sebab itu pusat atau tumpuan masyarakat adalah upacara ibadat.
Masyarakat “Weak Group-Grid” adalah kelompok sosial yang memiliki sistem organisasi yang tidak terlalu ketat, tetapi lebih longgar. Disini paham dosa bukan dimengerti sebagai pelanggaran obyektif terhadap keteraturan sebagai mana yang dianut oleh masyarakat “Strong Group-Grid”. Sebab itu cara menyelesaikan suatu dosa dalam masyrakat “Weak Group-Grid” bukan dengan melaksanakan ibadat, ritus dan upacara korban sebagaimana yang ditempuh oleh masyarakat “Strong Group-Grid”, melainkan lebih mengutamakan pertobatan individu, agar motivasi dan kerohaniannya tepat. Oleh karena itu kerohanian dan individu sebagai pribadi lebih diutamakan daripada kelompok, maka dalam masyarakat “Weak Group-Grid” keteraturan kelompok dirasakan sebagai sesuatu yang kurang mengikat.
Jadi, dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa pemikiran atau paham dosa dalam Alkitab juga dipengaruhi oleh bentuk-bentuk masyarakat (kelompok sosial), baik yang cenderung pada masyarakat “Strong Group-Grid”. Namun, dalam pemikiran Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), kedua paham dosa (dari masyarakat “Strong Group-Grid” dan “Weak Group-Grid” ) ditempatkan dalam konteks relasional. Relasi yang dimaksud adalah relasi yang sifatnya horizontal (hubungan dengan sesama) maupun relasi yang sifatnya vertikal (hubungan dengan Allah). Tepatnya kasih Allah tidak dapat dipandang atau ditiadakan oleh keberdosaan dan kejahatan manusia. Walaupun manusia menolak-Nya, tetapi Allah tetap mencintai manusia. Rencana Allah memiliki misi tunggal yaitu MENYELAMATKAN MANUSIA.
6. Sikap Manusia dalam Keberdosaannya
Ketika manusia, pria dan wanita (Adam dan Hawa) telah berbuat dosa, Allah menghampiri mereka dan bentuk pernyataan yang bercorak (anthropomorfisme). Dalam bentuk anthropomorfisme, TUHAN Allah (YAHWEH Elohim) digambarkan sebagai seorang manusia. Jadi, firman Allah bertujuan untuk membimbing manusia kepada sikap pengakuan dosa. Namun, ternyata manusia dalam keberdosaannya tidak mau mengakui akan segala dosa-dosanya. Oleh karena itu, manusia tidak mau mengakui akan segala dosa-dosanya dan tetap membenarkan diri. Maka kehidupan manusia berada di bawah hukuman Allah. Di Kejadian 3 : 14-17, hukuman Allah kepada manusia pria (Adam) dan manusia perempuan (Hawa). Empat hukuman Allah tersebut sebenarnya lebih bersifat “etilogis”, yaitu mau menyampaikan asal-mula beberapa persoalan.
7. Gema Rencana Allah
Gema firman Allah dalam Kitab Kejadian itu kemudian dikembangkan dan dipakai sebagai sumber oleh Kitab Wahyu. Jadi, Alkitab menegaskan bahwa pada satu pihak manusia telah berdosa kepada Allah dan manusia tak sanggup untuk menyelamatkan diri; pada saat itu juga Allah menggemakan rencana keselamatannya.
“Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar”
Salam Damai ^^
Jumat, 14 Januari 2011
Allah Menciptakan Langit dan Bumi
Pendahuluan
Menurut iman umat Israel, kisah penciptaan langit dan bumi seperti yang tertulis dalam Kitab Kejadian pasal 1 & 2 adalah sebagai tindakan awal Allah dalam membuat rencana keselamatan. Karena kisah penciptaan langit dan bumi merupakan latar belakang penciptaan Israel sebagai bangsa pilihan Allah. Sehingga kisah penciptaan langit dan bumi menjadi pujian dan rasa syukur kepada Tuhan Allah. Jadi, kisah penciptaan langit dan bumi bersifat ibadah. Tepatnya konteks ungkapan religius umat Israel dalam menghayati iman kepada YAHWEH (TUHAN).
Isi
2. 1. Pandangan Fundamentalisme Terhadap Kisah Penciptaan
Kaum fundamentalisme memandang Alkitab sebagai dasar penjelasan ‘ilmiah’ tentang terjadinya langit, bumi dan alam semesta. Akibatnya terjadilah perbedaan antara pandangan kaum fundamentalis dengan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Sehingga pandangan Alkitab seakan-akan tidak cocok dengan ilmu pengetahuan. Ketidakcocokan tersebut sebagai berikut :
Menurut Kitab kejadian, bumi diciptakan selama 6 hari. Padahal menurut penelitian ilmiah terjadinya bumi membutuhkan waktu ratusan juta tahun.
Menurut Alkitab dari sudut pandang kaum fundamentalis, bila dihitung dari Kitab Kejadian s/d Maleakhi umur bumi sekitar 4000 tahun. Padahal menurut ilmu pengetahuan umur bumi sudah ratusan juta tahun.
Menurut Kitab Kejadian, bumi yang terjadi lebih dulu. Padahal menurut ilmu pengetahuan matahari yang terjadi lebih dulu.
Menurut Mazmur 19 : 6-7, matahari yang mengelilingi bumi. Padahal ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa bumi yang mengelilingi matahari.
Terhadap ketidakcocokan tersebut, kaum fundamentalis bersikap menolak hasil-hasil ilmu pengetahuan, mereka yakin bahwa Alkitab sebagai firman Allah tidak mungkin salah dan berpendapat bahwa hasil-hasil ilmu pengetahuan yang salah. Mereka berusaha menyesuaikan hasil-hasil pengetahuan terhadap hasil tafsiran mereka. Spritualisme yang muncul akibat teologi fundamentalisme adalah :
Kelompok ekstrim yang menolak seluruh hasil ilmu pengetahuan dengan doktrin Alkitab tidak mungkin salah.
Kaum Liberalisme yang menolak Alkitab sebagai firman Allah sebab tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Kelompok Ambivalen (mendua) yang berpijak pada dua kutub (Alkitab dan Ilmu Pengetahuan). Mereka melakukan “penyesuaian-penyesuaian rasional” agar Alkitab ccocok dengan hasil ilmu pengetahuan.
2. 2. Sikap Kita
Dalam menafsirkan seluruh kesaksian Alkitab kita harus bersikap alkitabiah. Alkitabiah dalam arti kita harus menghormati Alkitab sebagai kitab yang bersifat religius yang memuat kumpulan kesaksian iman orang-orang percaya kepada TUHAN Allah. Jadi, kita tidak bisa menerima 3 bentuk spiritualitas yang muncul akibat teologi fundamentalisme. Sikap yang tepat adalah memisahkan dan menghargai tiap-tiap bidang “disiplin” Alkitab dengan ilmu pengetahuan. Jadi bidang kebenaran iman Alkitab tidak boleh dipakai untuk menilai kebenaran ilmu pengetahuan dan juga sebaliknya.
Sikap yang alkitabiah dalam menafsirkan kisah penciptaan langit dan bumi serta manusia adalah menempatkan Alkitab yang memiliki bidang disiplin yang khas dan unik itu sebagai kumpulan kitab yan berisi kesaksian iman. Karena Alkitab berisi kesaksian iman, Alkitab tidak bermaksud menjelaskan kisah penciptaan secara ilmiah.
2. 3. Makna Kisah Penciptaan
Makna kisah penciptaan langit, bumi serta manusia adalah mengajak kita untuk memahami makna iman kepada TUHAN Allah. Pemahaman sentral bahwa TUHAN ALLAH itu PENCIPTA langit dan bumi, terlihat jelas dalam Kejadian 1:1 yang menggunakan kata bara (Ibr.). Kata bara mempunyai arti menjadikan, menciptakan. Kata bara mengandung gagasan suatu tindakan yang kreatif, yang menunjuk pada suatu tindakan penciptaan dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Menurut kesaksian Alkitab, penciptaan Allah yang kreatif hanya melalui kuasa FIRMAN ALLAH saja.
2. 4. Segala Ciptaan Bukan untuk Disembah
Kitab Kejadian sebenarnya merupakan jawaban dan sikap penulis Kitab Kejadian yang mewakili kehidupan orang-orang beriman terhadap latar belakang kehidupan budaya dan pandangan hidup pada jaman itu. Konteks budaya pada jaman itu banyak dipengaruhi oleh pandangan kafir. Pandangan kafir saat itu mengilahkan kuasa-kuasa gelap yang dapat menyelamatkan mereka dari daya-daya perusak. Sementara menurut penulis Kitab Kejadian kuasa-kuasa gelap hanya ciptaan Allah yang dapat dikalahkan melalui kuasa FIRMANNYA. Jadi tujuan Kitab Kejadian adalah memberitahukan kemenangan TUHAN ALLAH atas segala kuasa gelap dan kuasa perusak. Selain itu orang-orang pada jaman Kitab Kejadian juga mengilahkan dan menyembah matahari dan bulan. Penulis Kitab Kejadian hanya menempatkan matahari dan bulan sebagai ciptaan Allah, sehingga Ia sengaja tidak menyebut nama “matahari dan bulan” ; cukup ditulis dengan : “benda penerang yang lebih besar untuk menguasai siang dan yang lebih kecil untuk menguasai malam”. Jadi yang berhak disembah dalam seluruh kehidupan hanya TUHAN ALLAH.
2. 5. Allah Menciptakan Manusia
Allah menciptakan manusia pada saat semua telah siap. Menurut Alkitab manusia dipilih dan diangkat oleh Allah sebagai pihak kedua. Tepatnya manusia dijadikan sebagai mitra Allah. Tujuannya adalah agar manusia dapat memancarkan kemuliaan dan keagungan TUHAN Allah dalam kehidupannya.
Menurut Kejadian 2:7 manusia diciptakan Allah dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup. Kata “debu tanah” berasal dari kata basar (Ibr.) yang berarti daging yang secara khusus menunjuk pada manusia dalam kefanaanya sehingga tidak memiliki hidup di dalam dirinya sendiri. Dan nafas hidup (nefesy) atau roh (ruakh) yang diberikan Allah membuat manusia dapat hidup. Artinya, dengan kuasa Roh Allah manusia dapat memiliki hidup yang baru. Jika Allah tidak campur tangan, manusia tak akan mungkin menciptakan kehidupan bagi dirinya sendiri. Jadi maksud Alkitab mengatakan bahwa manusia diciptakan dari debu tanah dan Allah menghembuskan nafas hidup adalah: walaupun manusia itu makhluk ciptaan yang fana, namun Allah menjadikan manusia sebagai makhluk yang memiliki keterarahan kepada Allah yang abadi.
2. 5. Manusia Tercipta Sebagai Laki-Laki dan Perempuan
Kitab Kejadian memaparkan penciptaan manusia sebagai manusia laki-laki dan manusia perempuan. Kisah penciptaan perempuan yang diambil dari tulang rusuk laki-laki bukan dimaksudkan sebagai informasi medis atau ilmu biologi, tetapi untuk mengungkapkan makna iman. Makna iman yang dimaksud adalah manusia laki-laki dan manusia perempuan berada dalam keterjalinan hubungan lahir dan batin, jasmani dan rohaniah. Sebab itu sikap iman yang benar adalah menghayati dan menempatkan hubungan pria dan wanita sebagai wujud anugerah Allah. Hubungan pria dan wanita merupakan persekutuan yang diberkati oleh Allah dan bernilai sakral secara teologis. Dan secara sosial merupakan keharusan, karena Kejadian 2:18 berkata: “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja”.
Keadaan manusia sebagai pria dan wanita diberi sifat kodrat oleh Allah secara khusus dan unik. Kaum pria diciptakan Allah agar dapat berperan sebagai seorang bapak dan pria harus menjadi pribadi yang maskulin dalam relasinya dengan kaum wanita. Sedangkan kaum wanita diciptakan Allah agar dapat berperan sebagai seorang ibu dan wanita harus menjadi pribadi yang feminim dalam relasinya dengan kaum pria. Walaupun kodrat saling berbeda, namun diperlukan untuk saling melengkapi. Sebab pria dan wanita diciptakan Allah dalam kedudukan yang sederajat. Jadi jelas Alkitab membela “emansipasi” pria dan wanita. Tujuannya agar pria dan wanita dapat meyumbangkan peranannya masing-masing.
3. Kesimpulan
Kisah Penciptaan langit dan bumi ditulis sebagai ungkapan iman yang tidak bisa dikaitkan dengan ilmu pengetahuan yang hanya bisa ditafsir secara alkitabiah. Tujuan penulis Kitab Kejadian dalam memaparkan kisah penciptaan adalah agar manusia pada jamannya dan umat Allah menaruh iman dan harapan mereka sepenuhnya kepada Tuhan Allah. Karena Tuhan Allah telah menunjukkan kuasanya dengan kuasa FIRMAN-NYA dalam penciptaan langit dan bumi. Allah menciptakan manusia sebagai mitraNYA, baik laki-laki dan perempuan keduanya memiliki kedudukan yang setara.