Jumat, 08 Juli 2011

Bab IV : Sepuluh Firman Allah

Bab IV
Sepuluh Firman Allah


1. Pendahuluan
Dalam pemikiran kitab-kitab Perjanjian Lama, hubungan peristiwa pembebasan dari Mesir dan bagaimana sikap Israel yang sudah merdeka itu saling berkaitan dalam satu jiwa. Karena itu dalam pergaulan dengan orang asing mereka menerima firman : “Janganlah kau tindas atau kau tekan seorang orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di Mesir” (Keluaran 22 : 21). Firman Allah yang senada berkata : “Janganlah engkau memperkosa hak orang asing dan anak yatim; juga janganlah engkau mengambil pakaian seorang janda menjadi gadai. Haruslah kau ingat, bahwa engkaupun dahulu budak di Mesir” (Ulangan 24 : 17-18). Jadi peristiwa pembebasan dari Mesir selalu dijadikan titik tolak penerapan tingkah laku.
Kita mengetahui umat Israel dijadikan budak di Mesir sekitar 430 tahun. Dan Allah kemudian melepaskan umat Israel dari Tanah Mesir. Penyelamatan Allah itu tidak hanya berhenti sampai peristiwa keluaran dari Mesir saja. Tetapi penyelamatan Allah senantiasa bergerak ke depan. Allah menghendaki bangsa mantan budak ini dapat hidup dalam persekutuan dengan Dia, yaitu hidup sebagai bangsa yang bebas. Sehingga mentalis yang melatarbelakangi hubungan umat Israel dan Allah bukan lagi ketakutan dan ketaatan seorang budak kepada tuannya.
Oleh karena terdapat hubungan antara peristiwa pembebasan dari Mesir dengan sikap hidup orang Israel, maka sifat Sepuluh Firman Allah tidaklah kaku. Maksudnya orang-orang Israel tidak pernah menganggap Sepuluh Firman Allah itu sekedar kumpulan undang-undang yang kaku. Dalam Perjanjian Lama kita dapat menjumpai kumpulan perintah yang pendek maupun yang panjang dengan urutan dan bentuk yang sedikit berbeda. Di Perjanjian Baru kita juga dapat melihat cara pengutipannya menghindar urutan yang teliti. Misalnya jawaban Yesus kepada orang muda yang kaya (Markus 10 :19 ; Lukas 18 :20). Ini disebabkan baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak mau menjadikan Sepuluh Firman Allah sebagai undang-undang yuridis yang mutlak dan statis. Sehingga dalam menafsirkan Sepuluh Firman Allah, kita tetap perlu memperhatikan situasi yang berubah-ubah walaupun tanpa perlu mengurangi arti (makna) aslinya.

2. Maksud Utama Sepuluh Firman Allah
Dengan mudah maksud utama Sepuluh Firman Allah dapat kita jumpai. Maksud utama itu terdapat dalam pembukaan (preambule) Sepuluh Firman Allah. Jadi sebelum Allah mengucapkan firman pertama sampai firman kesepuluh, terlebih dahulu Allah berfirman : “AKULAH TUHAN ALLAHMU YANG MEMBAWA ENGKAU KELUAR DARI TANAH MESIR, DARI TEMPAT PERBUDAKAN” (Keluaran 20 : 2). Maksud utama sepuluh firman terlebih dahulu diawali dengan “pernyataan Allah”, yaitu : “Akulah TUHAN Allahmu”. Di sini TUHAN ALLAH mewahyukan diri-Nya sebagai penyelamat dan pembebas. Artinya Allah menampilkan subyek pribadi-Nya yang telah bertindak dalam sejarah atau peristiwa keluarnya orang-orang Israel dari belenggu perbudakan. Sebab itu peringatan akan pembebasan dari Mesir yang telah dilakukan Allah adalah prinsip dasar dari seluruh firman Allah pertama sampai kesepuluh. Konteks sepuluh firman Allah adalah pembebasan dan penyelamatan Allah dalam sejarah. Sepuluh firman Allah berfungsi sebagai pedoman untuk hidup yang sesuai dengan kehendak Allah. Hubungan kebebasan dengan kehendak Allah adalah sebagai berikut : kebebasan baru dapat menjadi kebebasan bila taat kepada kehendak Allah. Artinya, kebebasan tanpa ketaatan kepada kehendak Allah hanya melahirkan anarki. Bayangkanlah bila manusia bebas melakukan apa saja tanpa kendali. Buahnya adalah : kekacauan, sikap sewenang-wenang, pemerkosaan, kehidupan menjadi rusak dan tidak aman, dan sebagainya. Jadi, TUHAN ALLAH adalah pembebas dari perbudakan dan sekaligus penjamin kebebasan pada masa mendatang. Kebebasan itu bukan hanya dibutuhkan pada saat kini saja, juga untuk kepentingan masa depan.
I. Firman Pertama
JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPANKU
Firman pertama ini terdapat dalam Keluaran 20 : 3 dan Ulangan 5 : 7. Pengertian “Allah lain” di sini jelas lebih merujuk kepada suatu atau beberapa ilah yang disembah oleh manusia yang hidup. Ilah-ilah itu adalah para dewa dan dewi, atau kekuatan-kekuatan kosmis yang dianggap oleh orang-orang kafir sebagai penentu hidup dan nasib keberuntungan mereka. Sebab itu orang-orang yang hidup di luar iman kepada Allah memperlakukan para ilah tersebut dengan begitu hormat dan penuh rasa takut. Sehingga tanpa sadar mereka telah diikat atau dibelenggu oleh kuasa berhala-berhala itu adalah kesia-siaan belaka. Jadi para penyembah berhala adalah orang yang menyembah buatan tangannya sendiri.
Mazmur 115 : 4-7 berkata : “Berhala-berhala mereka adalah perak dan emas, buatan tangan manusia; mempunyai mulut tetapi tidak dapat berkata-kata, mempunyai mata tetapi tidak dapat melihat, mempunyai telinga tetapi tidak dapat mendengar, mempunyai hidung tetapi tidak dapat mencium, mempunyai tangan tetapi tidak dapat meraba-raba, mempunyai kaki tidak dapat berjalan, dan tidak dapat memberi suara dengan kerongkongannya.” Ternyata sifat dari berhala-berhala adalah :
• Diciptakan manusia sendiri.
• Terbuat dari benda-benda materi yang terbatas.
• Tidak memiliki kuasa untuk menolong manusia.
Manusia dari sejak dahulu kala sampai jaman yang akan datang hampir secara prinsip tidak dapat melepaskan diri dari soal kecenderungan untuk “membuat allah lain” (ilah-ilah, dewa-dewa). Sebab yang disebut dengan berhala sebenarnya adalah : semua hal duniawi yang diperlakukan manusia mempermuliakan atau dijadikan sebagai sandaran utama dalam kehidupannya. Jadi, para ilah atau berhala adalah segala sesuatu yang terdapat di dunia ini yang membuat seluruh hidup kita terpaut padanya dan kita memutlakkannya.
Bila Allah berfirman : “Jangan ada allah lain di hadapanKu”, maksudnya adalah agar kita dapat tetap hidup bebas dan bahagia di hadapan Allah. Allah tidak menghendaki kita menjadi budak-budak dari ilah-ilah yang semu dan fana itu. Hidup dengan menyembah Allah saja berarti kita telah bebas dari segala pengaruh dari berhala-berhala itu. Mungkin kita memiliki banyak hal di dunia ini, tetapi “banyak hal” itu tidak kita mutlakan lagi sebab kita hanya memutlakan Allah saja. Tepatnya jiwa dan hidup kita tidak lagi terikat dengan benda-benda duniawi, sebab hidup kita seluruhnya telah dimiliki oleh Allah.

II. Firman Kedua
JANGAN MEMBUAT BAGIMU PATUNG YANG MENYERUPAI APAPUN;.....JANGAN SUJUD MENYEMBAH KEPADANYA ATAU BERIBADAH KEPADANYA.
Naskah lengkap Keluaran 20 :4 dan Ulangan 5 : 8-9 berbunyi : “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya.” Diteruskan dengan alasan : “sebab Aku, TUHAN Allahmu adalah Allah yang cemburu...”
Pandangan umum orang-orang kafir adalah para dewa mereka bersemayam di dalam patung-patung keramat. Bentuk patung itu biasanya menggambarkan ciri dan sifat utama dewa tersebut. Misalnya, sapi jantan menyatakan kekuasaan dewa yang menurunkan tubuh-tubuh hidup dengan benihnya. Karena itu bentuk pemujaannya diiringi dengan upacara yang bergaya seksual, iringan musik, tari-tarian, dan minuman keras. Disini mengingatkan kita kepada ibadah pemujaan kepada BAAL (artinya : “tuan”) di tanah Kanaan. Baal juga merupakan simbol kesuburan sehingga pemujaan diikuti dengan “pelacuran suci”. Kadang-kadang juga mempraktekkan hubungan homoseksualitas (pria dengan pria). Sedangkan di kuil-kuil Asyera (Asyera adalah istri baal) orang-orang memujanya dengan melakukan hubungan lesbian (wanita dengan wanita). Ynag jelas orang-orang kafir sudah biasa menggambarkan dewa mereka dengan patung-patung atau arca-arca untuk disembah.
Manusia cenderung untuk melukiskan Allah dengan suatu wujud yang berbentuk patung. Namun dapat juga melukiskan (mematungkan) Allah dalam bentuk kalimat-kalimat religius. Misalnya menggambarkan Allah sebagai “Orang Tua Bijaksana Yang Berjenggot”. Semua kata-kata manusia itu serba terbatas dan tak bisa menyatakan kebenaran lengkap Allah pada hakikatnya lebih mulia daripada pandangan apapun yang terbatas : Deus semper maior. Oleh karena itu firman Allah sejati tidak pernah hanya merupakan suatu kumpulan ayat-ayat dalam Kitab Suci. Pendewa-dewaan kumpulan ayat-ayat dalam Kitab Suci sama saja dengan pemberhalaan. Iman Kristen menyadari, bahwa firman Allah sejati menjelma menjadi YESUS KRISTUS yang adalah Anak Allah. Artinya firman Allah sejati tidak pernah menjelma menjadi sebuah “buku yang turun dari sorga”. Patung-patung atau gambar-gambar yang beredar yang menggambarkan : Yesus Kristus, Maria atau malaikat tidak boleh kita sembah. Hanya Tuhan Allah saja yang berhak disembah atau dipermuliakan. Jadi tak layak pula bila salib atau benda-benda di dalam gereja kita keramatka. Sebab Allah saja yang keramat, sedangkan semua benda dan barang-barang di dunia ini hanya sekedar sesuatu yang besifat materi.

III. Firman Ketiga
JANGAN MENYEBUT NAMA TUHAN DENGAN SEMBARANGAN
Menurut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, bukan manusia yang mengenal Allah lebih dulu. Sebaliknya Allah yang lebih dulu memperkenalkan Diri kepada manusia, sehingga manusia dapat mengetahui Allah dan nama-Nya. Kepada Musa, Allah memperkenalkan nama-Nya sebagai YAHWEH. Larangan menyebut nama Allah dengan sembarangan dilatarbelakangi oleh sikap-sikap orang kafir yang memakai atau menyebut nama dewa mereka dengan sikap takhayul atau magis. Karena itu doa-doa dalam ibadat orang kafir berubah menjadi mantera yang mempunyai sifat gaib, sehingga para dewa dapat segera memenuhi permintaan si pemohon. Padahal YAHWEH bukanlah salah satu ilah dari para dewa itu. YAHWEH tidak menghendaki nama-Nya dijadikan kalimat-kalimat gaib yang sakti. Nama-Nya memang berkuasa, tetapi tidak boleh dipakai untuk sihir. Penyelewengan penyebutan nama Allah sama saja dengan penghujatan. Karena itu umat Israel, bila menyebut nama YAHWEH tidak langsung menyebut YAHWEH tetapi nama YAHWEH dibaca : adonai. Mereka ingin menjaga kesucian nama Tuhan. Demikian pula Yesus Kristus, Dia menyebut Allah dengan panggilan “ABBA” (BAPA). Kita juga bertanggung jawab untuk memelihara kesucian nama Allah. Karena itu perlu dipertanyakan apakah benar “perang jihad”, “perang agama”, “perang suci” adalah sesuai dengan kehendak Allah. Perang-perang itu lebih mencerminkan sikap penghujatan kepada Allah. Juga betapa banyak nama “Yesus Kristus” dikomersialkan. Inipun merupakan penghujatan serius!!!
IV. Firman Keempat
INGATLAH DAN KUDUSKANLAH HARI SABAT
Masing-masing Kitab Keluaran (20 : 8-11) dan Kitab Ulangan (5 : 12-15) menyatakan : “Ingatlah dan kuduskanlah hari sabat”, Namun dengan alasan dan motivasi berbeda.
Motivasi Kitab Keluaran adalah : “enam hari lamanya engkau bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hrai sabat Tuhan Allahmu; maka janganlah melakukan sesuatu pekerjaan,.......”
Jadi alasan Kitab Keluaran adalah lebih bersifat religius atau ibadah : sebagaimana Tuhan beristirahat pada hari ketujuh, maka manusia juga harus beristirahat
Alasan Kitab Ulangan adalah lebih bersifat sosial : sebagaimana mereka dahulu budak yang tak pernah berhenti bekerja, maka setelah dimerdekakan Allah, mereka tak perlu bekerja seperti orang yang diperbudak oleh pekerjaan. Dan kemerdekaan itu tidak mengijinkan mereka untuk memperbudak orang lain.
Hidup bekerja selama enam hari dengan satu hari istirahat dari sudut religius mau mengungkapkan, bahwa manusia itu bukan sekedar makhluk material atau sekedar alat teknis; Namun manusia membutuhkan istirahat untuk secara khusus berpesta intim dengan Allah. Sikap benar dalam mengahayati dan menerapkan firman “ingatlah dan kuduskanlah hari sabat” adalah hidup dalam kebebasan sebagai anak-anak Allah. Sebab itu bukan hanya diartikan sebagai hari untuk pergi ke gereja. Namun Sabat merupakan hari yang istimewa bagi kita untuk menjalin relasi dengan Allah melalui ibadah, dan untuk memupuk hubungan kasih persaudaraan dengan anggota keluarga dengan Allah melalui ibadah dan untuk memupuk hubungan kasih persaudaraan dengan anggota keluarga dan sesama masyarakat.
V. Firman Kelima
HORMATILAH AYAHMU DAN IBUMU, SUPAYA LANJUT UMURMU DI TANAH YANG DIBERIKAN TUHAN ALLAHMU KEPADAMU
Firman kelima ini ditunjukkan kepada orang-orang Israel yang telah mengalami pembebasan dari Allah, jadi ditekankan kepada orang-orang Israel yang telah dewasa. Dan kepada mereka diingatkan kewajiban untuk memperhatikan, menghormati dan memelihara orang tua yaitu generasi yang sudah tidak bekerja lagi dan tidak dapat mencari rezeki sendiri. Bila demikian firman kelima ini maksud utamanya bukan kewajiban untuk menuruti segala keinginan orang tua, melakukan segala kehendak mereka, tidak membantah, setia dan taat, hormat dan bersyukur atas jasa-jasa mereka dahulu. Ide firman kelima ini tidak menjadikan anak sebagai bawahan mereka. Prinsip menghormati orang tua adalah : “anakku, tolonglah bapamu pada masa tuanya...kalau akalnya sudah berkurang hendaknya kau maafkan, jangan menistakannya sewaktu engkau masih berjaya.” Karena itu firman kelima ini tidak boleh dipakai untuk mendukung segala macam otoritas, misalnya dalam hubungan antara buruh dan majikan, antara bawahan dan pemimpin, dan sebagainya. Lebih baik orang tua berperan sebagai pendamping bagi anak-anaknya, bukan sebagai pihak “yang menentukan dan memutuskan segala sesuatu.”

VI. Firman Keenam
JANGAN MEMBUNUH
Prinsip firman keenam (Jangan membunuh) ini didasari oleh prinsip teologis bahwa Tuhan Allah adalah Sang Pemberi Kehidupan, sehingga hanya Allah saja yang berkuasa atas kehidupan. Konsekuensinya, manusia tidak berhak untuk mencabut nyawa sesamanya. Sebab itu : siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, Sebab Allah membentuk manusia itu menurut gambarNya sendiri (Kejadian 9 : 16). Jadi, hukum keenam ini secara khusus ditunjukkan kepada manusia, sehingga tidak dimaksudkan sebagai larangan untuk membunuh hewan atau makhluk lain. Hukum keenam ini lebih menunjuk pada larangan membunuh orang lain yang berlawanan dengan hukum moral. Secara khusus dilarang main hakim sendiri dengan menumpahkan darah orang lain. Tuhan Yesus berkata : “kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita : jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu : setiap orang yang marah kepada saudaranya harus dihukum.” Dari kata-kata Yesus kita dapat menyadari bahwa pembunuhan kepada sesama ternyata juga dapat dilakukan dengan kata-kata kejam dan tak senonoh.

VII. Firman Ketujuh
JANGAN BERZINAH
Firman ini terdapat dalam Keluaran 20 : 14 dan Ulangan 5 : 18. Konteks firman ketujuh masih berhubungan dengan pernyataaan Allah dalam keluaran Israel dan Mesir. Artinya firman ketujuh ini ditempatkan dalam hubungan pembebasan dan perjanjian antara Israel dengan YAHWEH. Inilah ciri khas firman ketujuh; ini hanya sekedar suatu norma hukum belaka atau ajaran etika yang umum. Maksud utama firman ketujuh adalah melindungi kebahagiaan pernikahan dan keluarga. Jelas Alkitab melihat pernikahan sebagai sesuatu yang suci, sehingga perzinahan dianggap sebagai penodaan terhadap kemurnian. Berulang-ulang Alkitab melukiskan bagaimana Tuhan itu tetap setia, walaupun umatNya (sebagai pengantin Allah) masih menyeleweng. Kesetian Allah itu dimaksudkan agar umatNya tetap setia. Jadi firman “Jangan berzinah” adalah panggilan untuk hidup dalam kesetiaan dan kesucian. Disini kesetiaan dan kesucian bukan hanya secara negatif menolak untuk melakukan pelanggaran, tetapi secara positif, setia dan hidup suci berarti : suatu sikap untuk saling mempercayai secara mendalam. Firman ketujuh ini berlaku juga bagi para pelaku perzinahan dengan pelacur. Juga bagi yang melakukan hubungan seks suka sama suka di luar pernikahan. Sebab hubungan seks tersebut tidak didasari oleh cinta lestari, tetapi hanya untuk memperoleh kenikmatan sementara dan mengumbar hawa nafsu.

VIII. Firman Kedelapan
JANGAN MENCURI
Menurut arti dari Bahasa Ibrani, pengertian “mencuri” meliputi pula : pencurian dan perampasan. Termasuk di dalamnya : mencuri manusia (menculik), sedangkan pencurian benda lebih menekankan pada makna sosial. Sebab itu lebih dicela pencurian milik orang kecil oleh kaum yang lebih kaya. Pencurian demikian disebut “pencurian dari atas”. Juga firman kedelapan ini lebih berlaku pula untuk “pencurian dari bawah.” Firman kedelapan ini pada jaman sekarang juga menentang perbuatan pembajakan dan perampokan. Termasuk di dalamnya menculik dan menyandera seorang anak untuk memeras orang tuanya. Penerapan hukum kedelapan ini lebih luas mencakup larangan pencurian terhadap : kebebasan manusia, hak-hak azasi, martabat manusia.

IX. Firman Kesembilan
JANGAN MENGUCAPKAN SAKSI DUSTA TENTANG SESAMAMU
Pengadilan Israel pada jaman dahulu berbeda dengan sistem pengadilan yang kita kenal. Kesaksian pada jaman itu adalah satu-satunya sarana untuk menemukan kebenaran. Akibatnya nyawa, nama baik dan milik seseorang dapat bergantung pada tuduhan dua atau tiga saksi yang berdusta. Inilah kelemahan sistem pengadilan tradisional umat Israel pada jaman dahulu. Dari sudut pemahaman kita yang telah mengenal sistem peradilan modern, cara-cara pengadilan di Israel pada jaman itu jelas tidak dapat diterima. Sebab sistem pengadilan yang mengandalkan keterangan para saksi akan mudah menimbulkan fitnah, tuduhan keji. Orang yang tidak bersalah mudah dijebloskan dalam hukuman. Firman kesembilan ini tetap relevan dalam kehidupan kita. Kegemaran melakukan gosip yang mencemarkan kehidupan orang lain adalah identik dengan mengucapkan saksi dusta. Seandainya gosip yang kita lontarkan benar, bukan berarti kita boleh mencemarkan kehidupan orang lain. Kebenaran harus merupakan kritik yang manusiawi untuk membangun dan menyadarkan orang lain. Kebenaran tidak boleh bertentangan dengan kasih. Sebab itu mengumumkan suatu kesalahan yang masih tersembunyi secara terang-terangan mungkin lebih salah daripada kesalahan itu sendiri. Kita perlu belajar untuk tidak mudah menghakimi atau mengadili orang lain, sebab kita pun tidak luput dari kesalahan. Kasih Kristus mengajar kita untuk melihat hal-hal yang positif dari sesama kita, bukan hanya melihat hal-hal yang buruk saja.

X. Firman Kesepuluh
JANGAN MENGINGINI RUMAH SESAMAMU; JANGAN MENGINGINI ISTRINYA, ATAU HAMBANYA LAKI-LAKI ATAU HAMBANYA PEREMPUAN, ATAU LEMBUNYA ATAU KELEDAINYA, ATAU APAPUN YANG DIPUNYAI SESAMAMU
Baik Kitab Keluaran maupun Kitab Ulangan menyadari betapa berbahayanya membiarkan nafsu mengingini tanpa batas. Secara implisit diakui bahwa sumber segala kejahatan dimulai lebih dahulu dari keinginan liar. Nafsu mengingini selalu berwajah dua. Dia dapat merangsang hidup sehingga manusia menemukan kebahagiaan; namun dia juga dapat membawa manusia kepada maut. Menurut Tuhan Yesus bukan makanan haram yang menajiskan manusia, tetapi segala keinginan jahat yang keluar dari hati manusia, itulah yang menajiskan. Sebab dari dalam hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Jadi, prinsipnya firman kesepuluh ini tidak pernah melarang orang untuk memiliki segala hal di dunia ini. Namun, yang dipersoalkan adalah apakah cara-cara yang dipakai untuk memiliki hal-hal itu sungguh-sungguh halal ???
Juga menyangkut soal perasaan tertarik. Perasaan tertarik pada lawan jenis itu sendiri tidak dilarang. Tetapi apakah perasaan tertarik kepada lawan jenis itu terkendali sehingga tidak ingin memiliki oerang lain yang bukan haknya; misalnya suami atau istri orang lain, sementara statusnya sendiri telah menikah atau belum. Bila firman kesepuluh ini dimaksudkan ke dalam Sepuluh Firman Allah adalah dimaksudkan agar umat Allah dapat hidup dalam kemurnian hati. Justru manusia dapat mengalami kebebasan, bila manusia dapat mengendalikan dan menguasai dorongan-dorongan nafsu dan keinginan-keinginannya ke arah yang positif.

3. Tambahan
10 Firman Allah yang diberikan oleh TUHAN kepada Orang Israel melalui perantaraan Musa jika dilihat dari sifatnya dibagi menjadi 2 yaitu : vertikal (manusia kepada TUHAN)  Hukum ke-1 sampai ke-4 dan horizontal (manusia terhadap manusia)  Hukum ke-5 sampai ke-10.

Pada jaman dahulu, Orang Kanaaan, Orang Yebus, Orang Het dan Orang Amori menyembah ilah-ilah yang berupa patung.

40 tahun di padang gurun Orang Israel belajar 3 hal, yaitu :
1. Allah adalah Allah Orang Israel.
2. Israel adalah Umat Allah.
3. Israel terdiri dari berbagai suku adalah satu persekutuan besar.

Di Timur Tengah, Orang Islam, Orang Yahudi, Orang Kristen memulai hari dari jam 6 sore.

Abraham  Ishak  Yakub (Yisrael)  12 suku Israel
Yehuda yang merupakan suku terkuat di Israel yang mendiami Kota Yerusalem menjadi cikal bakal Yahudi.
Yahudi adalah agama yang percaya kepada TUHAN yang menyelamatkan Israel.

Perbedaan Yahudi dan Kristen yaitu Yahudi tidak percaya kalau Yesus dari Nazaret adalah mesias.

Jumat, 25 Februari 2011

Bab 3 Perjanjian Allah dengan Manusia

Bab III
Perjanjian Allah dengan Manusia


1. Budaya Maju Tapi Moral Merosot
Budaya keagamaan dan budaya pekerjaan terlihat, di tengah-tengah kemajuan itu pula manusia tidak dapat melepaskan diri dari dosa dan kejahatan. Kisah ini berawal dari kisah “Kain dan Habel” (Kitab Kejadian 4:1-16). Pada saat Habel mempersembahkan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya maka Tuhan menerima persembahan itu, namun Tuhan tidak menerima persembahan Kain. Maka marahlah Kain ! Lalu Kain mengajak adiknya itu ke padang, dan sesampainya mereka di padang dipukullah Habel dan membunuhnya. Padahal sebelumnya Tuhan telah memperingatkan Kain, lalu Tuhan marah dan mengutuk Kain.
Melalui kisah “Lamekh” pun kita juga dapat melihat kemajuan-kemajuan yang berhasil dicapai oleh manusia. Namun, kehidupan moral makin merosot. Kisah ini berawal dari perkawinan poligami yang dilakukan Lamekh. Dia mempunyai 2 istri yang bernama “Ada dan Zila”. Dari Ada, dia mempunyai keturunan yang bernama Yabal dan Yubal. Sedangkan dari Zila, Lamekh mempunyai 2 keturunan yang bernama Tubal-Kain dan Naama. Tubal-Kain seorang penempa perkakas tembaga dan besi, antara lain untuk membuat senjata. Selain itu, Lamekh juga adalah orang yang nafsu akan membalas dendam. Dengan adanya nafsu membalas dendam tersebut dia menggunakan senjata yang ditempa oleh anaknya, Tubal-Kain. Dia membunuh seorang laki-laki dan seorang pemuda oleh karena pemuda itu hanya melukai dan memukul Lamekh hingga bengkak.
Melalui kisah “Lamekh” ini kita dapat melihat bahwa manusia berhasil mencapai kemajuan teknologi untuk membuat perkakas dan senjata, namun sayangnya alat-alat teknologi itu dipakai untuk melakukan kejahatan.
Sikap umat manusia makin disesalkan Tuhan dan memilukan hati-Nya. Jadi, proses kemerosotan moral manusia sehingga manusia lebih suka melakukan hal-hal yang jahat bagi Tuhan. Karena proses kemerosotan moral dan karena kejahatan manusia makin bertambah besar, Tuhan pun mulai mempersiapkan rencana yaitu menghapus manusia dari hadapan-Nya. Maksudnya, Tuhan akan memusnahkan semua manusia, maupun hewan ternak dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara. Namun, Tuhan masih berbaik hati Ia hanya menghukum manusia yaitu didatangkanlah oleh-Nya “Air Bah”.

2. Perjanjian Allah dengan Nuh
Allah mengaruniakan kasih karunia-Nya kepada Nuh, sebab Nuh adalah seorang yang benar dan tidak tercela. Iman Nuh terletak di tengah-tengah ateisme, moralitas di tengah-tengah imoralita. Kehidupan susila di tengah-tengah kehidupan asusila, hati yang lurus hidup di tengah-tengah hati yang bengkok. Kebijaksanaan di tengah-tengah kekerdilan di tengah-tengah pelanggaran hak asasi manusia dan sebagainya. Tuhan menyuruh Nuh untuk membuat bahtera dari kayu Gofir, karena Tuhan akan mengakhiri hidup segala makhluk di bumi.
Ukuran bahtera Nuh panjangnya 300 hasta, lebarnya 50 hasta dan tingginya 30 hasta. Jika satuannya diganti ke dalam meter, panjangnya mencapai 150 meter dan lebar 25 meter serta tingginya 15 meter. Nuh juga harus diusahakan mengumpulkan makanan, sebab Allah akan menurunkan hujan (air bah) ke bumi selama 40 hari 40 malam.
Di tengah-tengah pemusnahan semesta itu, Allah tetap mengingat Nuh dan keluarganya serta makhluk hidup dari dalam bahtera. Kesetiaan Allah dalam memenuhi perjanjianNya sering diungkapkan sebagai perbuatan mengingat. Maka Allah membuat angin menghembus melalui bumi sehingga air bah menjadi surut.
Ketika bumi telah kering, Allah memerintahkan Nuh supaya keluar dari bahtera tersebut. Nuh mengungkapkan sikap syukurnya dengan mendirikan mezbah bagi Tuhan Allah dan persembahan korban dari segala binatang yang tidak haram sebagai pengungkapan perdamaian antara Allah dengan manusia. Allah melakukan perjanjian kepada seluruh makhluk di bumi. Melalui perjanjian itu, Allah memberi jaminan perlindungan kepada manusia. Dan melalui itu, Allah mengangkat diriNya sebagai pelindung dunia. Segala kehidupan berada di bawah tata tertib pemerintahan Allah.

3. Perjanjian Allah dengan Abraham
Dari Abram, Nahor dan Haran hanya Abram yang mempunyai tempat dan peranan yang menentukan sejarah keselamatan oleh Allah. Allah mengutus Abram untuk pergi dari negerinya dan pergi ke negeri yang ditunjukkan Allah. Maksudnya panggilan Allah tersebut adalah untuk menguduskan atau mengasingkan Abraham untuk menjadi orang pilihan Allah. Di samping panggilan untuk pergi meninggalkan negeri asal keluarganya, Abram memperoleh janji berkat dari Allah. Isi janji berkat itu adalah :
1. Allah akan membuat Abram menjadi bangsa yang besar.
2. Allah akan membuat Abram dan namanya menjadi masyhur.
3. Abram akan menjadi berkat.
4. Melalui Abram segala kaum di muka bumi akan mendapat berkat.
Secara khusus perjanjian Allah tersebut diwujudkan dalam suatu tanda perjanjian. Tanda itu adalah dengan sunat dan ini turun-temurun khusus untuk laki-laki. Upacara sunat dalam perjanjian Allah adalah sebagai sumpah dan pengakuan terhadap ke-Tuhanan Allah serta sebagai tanda pengudusan atau meterai kebenaran berdasarkan iman. Pada saat perjanjian sunat itu, Allah mengganti nama Abram menjadi Abraham.
Namun, bagi Abraham terdapat kendala (hambatan) untuk mewujudkan janji Allah menjadi “Bapa orang banyak” karena istrinya (Sara) sebenarnya mandul. Abraham memohon kepada Allah agar dia dapat memperoleh keturunan. Waktu itu, Sara menyuruh Abraham untuk mengambil “Hagar” seorang budak menjadi istri keduanya. Dari Hagar, Abraham memperoleh anak laki-laki yang bernama “ISMAEL”. Janji Allah terwujud ketika Abraham berumur 100 tahun. Dia mendapatkan anak laki-laki dari Sara yang dinamai “ISHAK”. Padahal secara biologis seharusnya Sara tidak bisa mempunyai anak karena pada waktu itu dia sudah mati haid. Namun karena kasih karunia Allah akhirnya dia mendapatkan keturunan juga.
Walaupun Ishak adalah anak perjanjian, Allah menyuruh Abraham untuk mengorbankan anaknya yang tunggal itu, yaitu membunuhnya sebagai persembahan di atas sebuah mezbah. Padahal dengan Ishak Allah akan merencanakan keselamatanNya. Dan akhirnya Abraham menunjukkan ketaatannya dan mau menyembelih anak tunggalnya tersebut. Namun Allah berkata lain, Allah berseru dari langit dan mencegah Abraham untuk membunuh anaknya dan menggantinya dengan seekor domba sebagai korban bakaran pengganti anaknya. Karena Allah sudah mengetahui bahwa Abraham takut akan Allah. Persembahan itu dinamakan YAHWEH YIREH yang berarti Tuhan menyediakan. Dan dijelaskan bahwa Abraham hidup dalam ketaatan Allah.

4. Perjanjian Allah dengan Israel
Karena orang Israel ditindas oleh-oleh raja-raja Mesir, mereka berseru kepada Allah agar mereka dibebaskan. Dan Tuhan Allah memperdulikan penderitaan mereka dan menyiapkan rencana penyelamatanNya. Untuk penyelamatanNya, Tuhan memanggil Musa di Gunung Horeb. Musa melihat penampakan Allah yang ditandai dengan terbakarnya semak berduri yang tidak hangus-hangus.
Dari tindakan Allah yang menyelamatkan orang Israel dari perbudakan di Mesir, orang Israel mengetahui makna EHYEH ASYE EHYEH yaitu makna iman kepada Tuhan Allah. Sebab itu peristiwa Keluaran (Exodus) dari Mesir bagi orang-orang Israel menjadi pokok dan dasar puji-pujian syukur. Mereka selalu mengingatnya setiap merayakan hari raya PASKAH. Mereka telah menjadi orang-orang yang merdeka di dalam Tuhan.
Hubungan Allah dengan umat Israel ini diperteguh dalam perjanjian. Sebab itu, seluruh hukum dan perintah Allah yang terangkum dalam sepuluh firman Allah. Sebab konteks dari sepuluh firman Allah adalah pada tindakan Allah yang membebaskan. Adapun sepuluh firman Allah yang ditetapkan di Gunung Sinai :
1. Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu.
2. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang di dalam air bawah bumi. Jangan sujud menyembah padanya atau beribadah kepadanya. Sebab Aku Tuhan Allahmu adalah Allah yang cemburu.
3. Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan.
4. Ingatlah dan kuduskanlah hari sabat.
5. Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan Allah kepadamu.
6. Jangan membunuh.
7. Jangan berzinah.
8. Jangan mencuri.
9. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.
10. Jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini istrinya, atau hamba laki-lakinya, atau hambanya perempuan atau lembunya atau keledainya ataupun yang dipunyai sesamamu.

5. Makna Hidup dalam Perjanjian
Hubungan perjanjian menolak adanya sifat menguasai dan dikuasai. Sebab hubungannya yang bersifat menguasai dan dikuasai menunjukkan sikap yang saling menindas. Hubungan perjanjian juga menolak pandangan manusia dapat melebur menjadi satu dengan Allah. Sebab pengertian perjanjian merupakan hubungan antara subyek dengan subyek yaitu Antara Allah dengan manusia.
“Kenapa ada perjanjian Allah dengan manusia ?
Jawabannya adalah karena dosa.
Dosa menjadi jurang pemisah antara manusia dengan Allah. Dan Allah yang Maha Kudus, Maha Suci, Maha Mulia, Maha Kuasa mau mengadakan perjanjian dengan manusia yang tinggal di dunia ini dengan keadaan yang sudah tidak suci, tidak kudus dan tidak mulia oleh karena dosanya. Perjanjian itu ada supaya manusia memperoleh keselamatan dan merasakan kasih yang sesungguhnya. Dalam Kristen sendiri tanda perjanjiannya adalah Baptis.”
Hubungan perjanjian Allah dan manusia Alkitab berkaitan dengan “Spiritualitas Kehidupan”. Spiritulitas Kehidupan sebagai umat Allah yang hidup dalam perjanjian dengan Allah adalah :
a. Kehidupan kita merupakan dalam persekutuan dengan Allah.
b. Arah hidup kita secara mutlak tertuju pada sikap yang memuliakan Allah dan menghormati kekudusanNya.
c. Sebagai orang yang hidup dalam perjanjian Allah, kita adalah orang-orang yang merdeka (bebas).
d. Dalam setiap hal kita percaya akan pimpinan Allah.
e. Langkah kehidupan kita bukan sebagai usaha yang memaksakan segala kehendak dan kemauan kita.
f. Hidup dalam janji-janji Allah, berarti kita dipanggil untuk membuat langkah-langkah dan tindakan iman.
g. Hidup dalam janji-janji Allah menempatkan kita pada suatu perjuangan eksistensial yang terus-menerus.
h. Hambatan dan kegagalan tidak membuat kita menjadi patah semangat, kecil hati, kehilangan gairah, merasa sia-sia atau menyebabkan kita menjadi mundur dan tidak mau berjuang.
i. Janji-janji Allah mendorong kita untuk sabar.
j. Kita terpanggil untuk terus-menerus hidup dengan wawasan yang luas dan panjang.
k. Selama hidup kita dipakai untuk menjadi jembatan bagi keselamatan serta kesejahteraaan sesama.

Sabtu, 22 Januari 2011

Bab II Manusia di hadapan Allah

1. Pendahuluan

Menurut Kitab Kejadian 1 : 2 keadaan di bumi pada mulanya masih kacau, keadaan bumi tersebut diungkapkan demikian. Jadi, bumi masih dikuasai oleh kuasa-kuasa KHAOTIS [khaos (Ibr.) : kekacauan], yaitu daya-daya perusak sehingga tidak memungkinkan kehidupan dapat berlangsung. Untuk mencapai tujuan kehidupan yang penuh SYALOOM itu, Allah merencanakan menciptakan manusia sebagai mandataris Allah.

2. Manusia sebagai Mandataris Allah
Kisah penciptaan sebelumnya senantiasa dimulai dengan ungkapan : “Berfirmanlah Allah” maka “jadilah...”. Namun bentuk ungkapan tersebut dalam kisah penciptaan manusia tidak dipergunakan lagi. Perhatikan firman Allah dalam Kejadian 1 : 26. Dan yang terpenting, Kitab Kejadian menunjukkan Allah menciptakan manusia menurut gambar [tselem (Ibr.)] dan rupa [demut (Ibr.)] Allah sendiri. Sebab itu dalam Kejadian 1 : 27 diulang kembali. Meskipun arti kata gambar (tselem) dan rupa (demut) tidaklah sama, namun keduanya sangat berdekatan satu sama lain. Pada jaman dahulu kedua kata tersebut dipakai untuk menyebut patung atau arca dewa. Bila memang demikian manusia menurut Kitab Kejadian adalah serentak laki-laki dan perempuan. Inilah yang disebut Androgyne. Keduanya yaitu laki-laki dan perempuan menghadirkan “wajah” Allah dalam kehidupan pribadi mereka, namun dengan cara yang berbeda sambil mereka saling melengkapi. Jadi, Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan sebagai perempuan agar mencerminkan kehidupan ilahi sesuai dengan fungsi dan kodratnya masing-masing.
Pengertian manusia sebagai mandataris Allah bukan dimaksudkan bahwa manusia berhak untuk menguras habis-habisan isi alam ini untuk memenuhi kebutuhannya. Kata “berkuasa” [rada (Ibr.)] lebih merujuk pada pengertian menaungi atau mengayomi. Sebagaimana Kitab Kejadian menegaskan bahwa “segala yang dijadikan Allah itu sungguh amat baik” (Kejadian 1 : 31). Sebab itu kita terpanggil untuk menjadi pemeliharaan alam dan isinya menjadi rusak, manusia seluruhnya akan diancam oleh kemusnahan. Sebagai mandataris Allah sikap kita terhadap alam harus berubah menjadi positif. Alam bukan lagi sebagai obyek unuk dimanfaatkan semaunya, tetapi alam perlu dijadikan sahabat (tempat manusia berelasasi dan menemukan makna).

3. Menghadirkan Syaloom Allah
Jabatan yang dikaruniakan Allah kepada manusia sebagai mandataris Allah adalah supaya manusia hidup sebagai gambar dan rupa Allah. Mencerminkan kehidupan ilahi dan kepribadiannya. Kata syaloom berasal dari Bahasa Ibrani yang menunjuk suatu keadaan ideal. Dalam Perjanjian Lama, kata syaloom dipergunakan sebanyak 237 kali. Jadi, kata syaloom kadang-kadang dimunculkan dalam relasi pergaulan. Umumnya, arti kata syaloom dalam Perjanjian Lama mempunyai arti yang berlimpah, kenyang, rasa puas, bahagia, utuh, dan lengkap, atau menunjuk pada suatu kehidupan yang utuh-lengkap meliputi manusia seluruhnya dan dari semua segi kehidupan. Sebab Allah menciptakan langit dan bumi serta manusia adalah agar dalam kehidupan itu tercipta suatu keadaan syaloom. Paling tidak ada dimensi keadaan syaloom, yaitu : dimensi vertikal, dimensi sosial, dan dimensi kosmis.
Dalam dimensi vertikal, syaloom berarti keselarasan antara Allah dan manusia. Di sini inti keadaan ini merupakan pergaulan yang erat dan mesra antara manusia dengan Allah.
Dalam dimensi sosial, syaloom berarti bahwa manusia membutuhkan penolong yang sepadan. Sebab itu TUHAN Allah berfirman : “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2 : 18).
Dimensi kosmis juga lingkup dari syaloom, sebab itu harus ada keselarasan antara manusia dengan alam. Sebagai mandataris Allah (bukan sebagai penguasa dunia), manusia harus mampu memberi perlindungan dan pengayoman kepada seluruh makhluk dan isi alam.
Dari pembahasan di atas kita dapat mengatakan bahwa syaloom itu keselamatan dan damai-sejahtera itu suatu kejadian yang memungkinkan semua manusia menjadi baik dan lancar, harmonis dengan TUHAN Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam.

4. Dosa dan Kegagalan Manusia
Namun tujuan Allah justru dikhianati oleh manusia. Manusia memberontak kepada Allah, sebab manusia tergoda untuk menjadi seperti Allah (Kejadian 3 : 5). Sebab pada hakikatnya dosa senantiasa memisahkan manusia dari Allah. Ini terlihat dari Yesaya 59 : 2. Namun, bila kita memperhatikan latar belakang (konteks) pemberontakan manusia sehingga jatuh ke dalam dosa, ternyata berhubungan erat dengan :
a. Allah memberikan kebebasan kepada manusia.
b. Iblis melalui ular menggoda manusia.
Persoalan pertama berkaitan dengan masalah : Allah memberikan kebebasan kepada manusia. Argumentasi ini mengandaikan lebih baik jika Allah tidak pernah memberikan kebebasan pada manusia. Sebaliknya, adanya kebebasan yang dimiliki manusia menunjukkan bukti kasih dan anugerah Allah yang begitu besar. Jadi, manusia jatuh ke dalam dosa bukan disebabkan oeh kebebasan yang dimilikinya.
Persoalan kedua berkaitan dengan tindakan iblis yang menggoda manusia, manusia tidak mungkin berbuat dosa. Kisah kejatuhan manusia dalam Kitab Kejadian 3 : 1-7 memang memperlihatkan secara jelas peranan iblis. Dan bila kita merenungkan kisah dalam Kejadian 3 : 1-7, ternyata keadaan manusia ketika digoda adalah berada dalam keadaan sadar (bukan dalam tekanan psikologis). Manusia dengan kebebasannya masih dapat menolak godaan iblis untuk berkomunikasi. Tetapi ternyata manusia menanggapi setiap perkataan iblis. Manusia dapat tetap setia kepada Allah, walaupun digoda iblis terus-menerus, sebab kesetiaan dan perlawanan adalah hasil keputusan bebas manusia.

5. Paham Tentang Dosa
Kita perlu merumuskan pemahaman arti tentang dosa. Sehingga kita dapat lebih mudah diukur untuk dipertanggungjawabkan. Untuk mencapai tujuan itu ada baiknya bila kita juga memperhatikan sumbangan antroplogi sosial yang menyelidiki terjadinya kelompok-kelompok sosial. Antropologi sosial pada prinsipnya membedakan dua macam masyarakat (kelompok sosial), yaitu :
a. Strong Group-Grid
b. Weak Group-Grid
Maksud dari “Strong Group-Grid” adalah kelompok sosial yang memiliki sistem organisasi yang sangat ketat. Bagi masyarakat “Strong Group-Grid” suatu dosa atau kesalahan dilihat sebagai suatu gangguan obyektif. Cara mencegah akibat buruk dari perbuatan dosa (pelanggaran) adalah dengan melakukan upacara-upacara tertentu untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan. Sebab itu pusat atau tumpuan masyarakat adalah upacara ibadat.
Masyarakat “Weak Group-Grid” adalah kelompok sosial yang memiliki sistem organisasi yang tidak terlalu ketat, tetapi lebih longgar. Disini paham dosa bukan dimengerti sebagai pelanggaran obyektif terhadap keteraturan sebagai mana yang dianut oleh masyarakat “Strong Group-Grid”. Sebab itu cara menyelesaikan suatu dosa dalam masyrakat “Weak Group-Grid” bukan dengan melaksanakan ibadat, ritus dan upacara korban sebagaimana yang ditempuh oleh masyarakat “Strong Group-Grid”, melainkan lebih mengutamakan pertobatan individu, agar motivasi dan kerohaniannya tepat. Oleh karena itu kerohanian dan individu sebagai pribadi lebih diutamakan daripada kelompok, maka dalam masyarakat “Weak Group-Grid” keteraturan kelompok dirasakan sebagai sesuatu yang kurang mengikat.
Jadi, dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa pemikiran atau paham dosa dalam Alkitab juga dipengaruhi oleh bentuk-bentuk masyarakat (kelompok sosial), baik yang cenderung pada masyarakat “Strong Group-Grid”. Namun, dalam pemikiran Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), kedua paham dosa (dari masyarakat “Strong Group-Grid” dan “Weak Group-Grid” ) ditempatkan dalam konteks relasional. Relasi yang dimaksud adalah relasi yang sifatnya horizontal (hubungan dengan sesama) maupun relasi yang sifatnya vertikal (hubungan dengan Allah). Tepatnya kasih Allah tidak dapat dipandang atau ditiadakan oleh keberdosaan dan kejahatan manusia. Walaupun manusia menolak-Nya, tetapi Allah tetap mencintai manusia. Rencana Allah memiliki misi tunggal yaitu MENYELAMATKAN MANUSIA.

6. Sikap Manusia dalam Keberdosaannya
Ketika manusia, pria dan wanita (Adam dan Hawa) telah berbuat dosa, Allah menghampiri mereka dan bentuk pernyataan yang bercorak (anthropomorfisme). Dalam bentuk anthropomorfisme, TUHAN Allah (YAHWEH Elohim) digambarkan sebagai seorang manusia. Jadi, firman Allah bertujuan untuk membimbing manusia kepada sikap pengakuan dosa. Namun, ternyata manusia dalam keberdosaannya tidak mau mengakui akan segala dosa-dosanya. Oleh karena itu, manusia tidak mau mengakui akan segala dosa-dosanya dan tetap membenarkan diri. Maka kehidupan manusia berada di bawah hukuman Allah. Di Kejadian 3 : 14-17, hukuman Allah kepada manusia pria (Adam) dan manusia perempuan (Hawa). Empat hukuman Allah tersebut sebenarnya lebih bersifat “etilogis”, yaitu mau menyampaikan asal-mula beberapa persoalan.

7. Gema Rencana Allah
Gema firman Allah dalam Kitab Kejadian itu kemudian dikembangkan dan dipakai sebagai sumber oleh Kitab Wahyu. Jadi, Alkitab menegaskan bahwa pada satu pihak manusia telah berdosa kepada Allah dan manusia tak sanggup untuk menyelamatkan diri; pada saat itu juga Allah menggemakan rencana keselamatannya.

“Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar”
Salam Damai ^^

Jumat, 14 Januari 2011

Allah Menciptakan Langit dan Bumi

  1. Pendahuluan


Menurut iman umat Israel, kisah penciptaan langit dan bumi seperti yang tertulis dalam Kitab Kejadian pasal 1 & 2 adalah sebagai tindakan awal Allah dalam membuat rencana keselamatan. Karena kisah penciptaan langit dan bumi merupakan latar belakang penciptaan Israel sebagai bangsa pilihan Allah. Sehingga kisah penciptaan langit dan bumi menjadi pujian dan rasa syukur kepada Tuhan Allah. Jadi, kisah penciptaan langit dan bumi bersifat ibadah. Tepatnya konteks ungkapan religius umat Israel dalam menghayati iman kepada YAHWEH (TUHAN).



  1. Isi

2. 1. Pandangan Fundamentalisme Terhadap Kisah Penciptaan

Kaum fundamentalisme memandang Alkitab sebagai dasar penjelasan ‘ilmiah’ tentang terjadinya langit, bumi dan alam semesta. Akibatnya terjadilah perbedaan antara pandangan kaum fundamentalis dengan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Sehingga pandangan Alkitab seakan-akan tidak cocok dengan ilmu pengetahuan. Ketidakcocokan tersebut sebagai berikut :

  1. Menurut Kitab kejadian, bumi diciptakan selama 6 hari. Padahal menurut penelitian ilmiah terjadinya bumi membutuhkan waktu ratusan juta tahun.

  2. Menurut Alkitab dari sudut pandang kaum fundamentalis, bila dihitung dari Kitab Kejadian s/d Maleakhi umur bumi sekitar 4000 tahun. Padahal menurut ilmu pengetahuan umur bumi sudah ratusan juta tahun.

  3. Menurut Kitab Kejadian, bumi yang terjadi lebih dulu. Padahal menurut ilmu pengetahuan matahari yang terjadi lebih dulu.

  4. Menurut Mazmur 19 : 6-7, matahari yang mengelilingi bumi. Padahal ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa bumi yang mengelilingi matahari.

Terhadap ketidakcocokan tersebut, kaum fundamentalis bersikap menolak hasil-hasil ilmu pengetahuan, mereka yakin bahwa Alkitab sebagai firman Allah tidak mungkin salah dan berpendapat bahwa hasil-hasil ilmu pengetahuan yang salah. Mereka berusaha menyesuaikan hasil-hasil pengetahuan terhadap hasil tafsiran mereka. Spritualisme yang muncul akibat teologi fundamentalisme adalah :

    1. Kelompok ekstrim yang menolak seluruh hasil ilmu pengetahuan dengan doktrin Alkitab tidak mungkin salah.

    2. Kaum Liberalisme yang menolak Alkitab sebagai firman Allah sebab tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.

    3. Kelompok Ambivalen (mendua) yang berpijak pada dua kutub (Alkitab dan Ilmu Pengetahuan). Mereka melakukan “penyesuaian-penyesuaian rasional” agar Alkitab ccocok dengan hasil ilmu pengetahuan.




2. 2. Sikap Kita

Dalam menafsirkan seluruh kesaksian Alkitab kita harus bersikap alkitabiah. Alkitabiah dalam arti kita harus menghormati Alkitab sebagai kitab yang bersifat religius yang memuat kumpulan kesaksian iman orang-orang percaya kepada TUHAN Allah. Jadi, kita tidak bisa menerima 3 bentuk spiritualitas yang muncul akibat teologi fundamentalisme. Sikap yang tepat adalah memisahkan dan menghargai tiap-tiap bidang “disiplin” Alkitab dengan ilmu pengetahuan. Jadi bidang kebenaran iman Alkitab tidak boleh dipakai untuk menilai kebenaran ilmu pengetahuan dan juga sebaliknya.

Sikap yang alkitabiah dalam menafsirkan kisah penciptaan langit dan bumi serta manusia adalah menempatkan Alkitab yang memiliki bidang disiplin yang khas dan unik itu sebagai kumpulan kitab yan berisi kesaksian iman. Karena Alkitab berisi kesaksian iman, Alkitab tidak bermaksud menjelaskan kisah penciptaan secara ilmiah.

2. 3. Makna Kisah Penciptaan

Makna kisah penciptaan langit, bumi serta manusia adalah mengajak kita untuk memahami makna iman kepada TUHAN Allah. Pemahaman sentral bahwa TUHAN ALLAH itu PENCIPTA langit dan bumi, terlihat jelas dalam Kejadian 1:1 yang menggunakan kata bara (Ibr.). Kata bara mempunyai arti menjadikan, menciptakan. Kata bara mengandung gagasan suatu tindakan yang kreatif, yang menunjuk pada suatu tindakan penciptaan dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Menurut kesaksian Alkitab, penciptaan Allah yang kreatif hanya melalui kuasa FIRMAN ALLAH saja.


2. 4. Segala Ciptaan Bukan untuk Disembah

Kitab Kejadian sebenarnya merupakan jawaban dan sikap penulis Kitab Kejadian yang mewakili kehidupan orang-orang beriman terhadap latar belakang kehidupan budaya dan pandangan hidup pada jaman itu. Konteks budaya pada jaman itu banyak dipengaruhi oleh pandangan kafir. Pandangan kafir saat itu mengilahkan kuasa-kuasa gelap yang dapat menyelamatkan mereka dari daya-daya perusak. Sementara menurut penulis Kitab Kejadian kuasa-kuasa gelap hanya ciptaan Allah yang dapat dikalahkan melalui kuasa FIRMANNYA. Jadi tujuan Kitab Kejadian adalah memberitahukan kemenangan TUHAN ALLAH atas segala kuasa gelap dan kuasa perusak. Selain itu orang-orang pada jaman Kitab Kejadian juga mengilahkan dan menyembah matahari dan bulan. Penulis Kitab Kejadian hanya menempatkan matahari dan bulan sebagai ciptaan Allah, sehingga Ia sengaja tidak menyebut nama “matahari dan bulan” ; cukup ditulis dengan : “benda penerang yang lebih besar untuk menguasai siang dan yang lebih kecil untuk menguasai malam”. Jadi yang berhak disembah dalam seluruh kehidupan hanya TUHAN ALLAH.


2. 5. Allah Menciptakan Manusia

Allah menciptakan manusia pada saat semua telah siap. Menurut Alkitab manusia dipilih dan diangkat oleh Allah sebagai pihak kedua. Tepatnya manusia dijadikan sebagai mitra Allah. Tujuannya adalah agar manusia dapat memancarkan kemuliaan dan keagungan TUHAN Allah dalam kehidupannya.

Menurut Kejadian 2:7 manusia diciptakan Allah dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup. Kata “debu tanah” berasal dari kata basar (Ibr.) yang berarti daging yang secara khusus menunjuk pada manusia dalam kefanaanya sehingga tidak memiliki hidup di dalam dirinya sendiri. Dan nafas hidup (nefesy) atau roh (ruakh) yang diberikan Allah membuat manusia dapat hidup. Artinya, dengan kuasa Roh Allah manusia dapat memiliki hidup yang baru. Jika Allah tidak campur tangan, manusia tak akan mungkin menciptakan kehidupan bagi dirinya sendiri. Jadi maksud Alkitab mengatakan bahwa manusia diciptakan dari debu tanah dan Allah menghembuskan nafas hidup adalah: walaupun manusia itu makhluk ciptaan yang fana, namun Allah menjadikan manusia sebagai makhluk yang memiliki keterarahan kepada Allah yang abadi.


2. 5. Manusia Tercipta Sebagai Laki-Laki dan Perempuan

Kitab Kejadian memaparkan penciptaan manusia sebagai manusia laki-laki dan manusia perempuan. Kisah penciptaan perempuan yang diambil dari tulang rusuk laki-laki bukan dimaksudkan sebagai informasi medis atau ilmu biologi, tetapi untuk mengungkapkan makna iman. Makna iman yang dimaksud adalah manusia laki-laki dan manusia perempuan berada dalam keterjalinan hubungan lahir dan batin, jasmani dan rohaniah. Sebab itu sikap iman yang benar adalah menghayati dan menempatkan hubungan pria dan wanita sebagai wujud anugerah Allah. Hubungan pria dan wanita merupakan persekutuan yang diberkati oleh Allah dan bernilai sakral secara teologis. Dan secara sosial merupakan keharusan, karena Kejadian 2:18 berkata: “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja”.

Keadaan manusia sebagai pria dan wanita diberi sifat kodrat oleh Allah secara khusus dan unik. Kaum pria diciptakan Allah agar dapat berperan sebagai seorang bapak dan pria harus menjadi pribadi yang maskulin dalam relasinya dengan kaum wanita. Sedangkan kaum wanita diciptakan Allah agar dapat berperan sebagai seorang ibu dan wanita harus menjadi pribadi yang feminim dalam relasinya dengan kaum pria. Walaupun kodrat saling berbeda, namun diperlukan untuk saling melengkapi. Sebab pria dan wanita diciptakan Allah dalam kedudukan yang sederajat. Jadi jelas Alkitab membela “emansipasi” pria dan wanita. Tujuannya agar pria dan wanita dapat meyumbangkan peranannya masing-masing.


3. Kesimpulan


Kisah Penciptaan langit dan bumi ditulis sebagai ungkapan iman yang tidak bisa dikaitkan dengan ilmu pengetahuan yang hanya bisa ditafsir secara alkitabiah. Tujuan penulis Kitab Kejadian dalam memaparkan kisah penciptaan adalah agar manusia pada jamannya dan umat Allah menaruh iman dan harapan mereka sepenuhnya kepada Tuhan Allah. Karena Tuhan Allah telah menunjukkan kuasanya dengan kuasa FIRMAN-NYA dalam penciptaan langit dan bumi. Allah menciptakan manusia sebagai mitraNYA, baik laki-laki dan perempuan keduanya memiliki kedudukan yang setara.